TUGAS KULIAH
PENDIDIKAN PANCASILA
Diskusi yang diadakan pada
hari selasa, 19 desember 2017 pada acara Indonesia Lawyer Club (ILC) yang
ditayangkan disalah satu chanel TV swasta TV ONE secara live membahas tentang
permasalahan “ Benarkah MK melegalkan Zina dan LGBT ? “.
Isi pembicaraan dalam
diskusi tersebut membahas MK menolak gugatan uji materi terkait zina dan
hubungan sesama jenis / LGBT yang diatur dalam KUHP. Dari 9 hakim, 5 hakim
menolak uji materi dan 4 hakim diantaranya menyatakan berbeda atau dissenting
opinion. Ke 4 hakim berpendapat setuju dengan adanya uji materi karena menilai
pasal zina tersebut mempersempit devinisi dan sudah tak relevan dengan kondisi
saat ini sedangkan 5 hakim berpendapat gugatan perluasan arti zina dan praktik
zina dikalangan LGBT sudah masuk dalam rancangan KUHP baru hanya tinggal
menunggu disahkan. Ada 3 pasal KUHP yang dimohon diuji oleh MK yaitu pasal 284,
pasal 285 an pasal 292.
Tetapi karena berita
tersebut sudah menyebar luas dikalangan public, public pun berpendapat MK
ternyata sudah melegalkan zina dan LGBT. Padahal MK berkata bahwa UU tidak
memberikan mereka wewenang untuk merumuskan pidana ataupun UU dan mereka hanya
berwewenang sebagai negative legastor untuk mencabut pasal–pasal UU yang
dianggap bertentangan dengan konstitusi atau UU’45.
Pembicara yang hadir
dalam acara Indonesia Lawyer Club (ILC) sbb :
- Prof. Euis Sunarti (Pemohon Judicial Review)
- Rita Soebagio (Ketua AILA)
- Feizal Syahmenan (Koordinator Tim Pengacara Pemohon)
- Dewi Ining Irana (Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin)
- Ade Armando (Pengamat Komunikasi)
- Cania Citta (Jurnalis The Geotimes)
- Dede Oetomo (Aktivis Gaya Nusantara)
- Aan Anshori (Koordinator Jaringan Islam Antidiskriminasi)
- K.H. Zaitun Rasmin (Wasekjen MUI)
- Franz Magnis Suseno (Rohanian Katolik)
- Ahmad Yani (Pratisi Hukum)
- Muszakkir (Pakar Hukum Pidana)
- Feri Amsari (Pakar Hukum Tata Negara)
- Ahmad Redi (Pakar Hukum Tata Negara Univ. Tarumanegara)
- Refly Harun (Pakar Hukum Tata Negara)
- Irman Putra Sidin (Pakar Hukum Tata Negara)
- Prof. Mahfud M.D. (Mantan Ketua MK)
Ada beberapa pendapat
yang di sampaikan oleh pembicara yang hadir dalam acara Indonesia Lawyer Club
(ILC) sbb :
- Prof. Euis Sunarti (Pemohon Judicial Review)
Prof. Euis Sunarti berkata
bahwa data yang telah di teliti menyatakan data penyimpangan zina dan hubungan
sesama jenis atau LGBT meningkat sekitar
60-70% di satu desa dan banyak anak–anak usia 11, 12, 13 tahun telah belajar
hubungan seks sesama jenis. Masyarakat harus mulai berpikir tentang sistem UU untuk
lebih mengontrol generasi–generasi muda agar tidak terjerumus dalam zina dan
LGBT. Ini menegaskan bahwa AILI ingin menuknjukan wujud cinta dan pelindungan
kepada generasi muda dan keluarga Indonesia.J
- Ade Armando (Pengamat Komunikasi)
- Prof. Mahfud M.D. (Mantan Ketua MK)
Prof. Mahfud M.D.
berkata bolehkah MK memperluas penafsiran? Jawabannya tidak boleh, MK itu hanya
boleh membatalkan karena MK negative legastor oleh sebab itu MK juga tidak boleh
melakukan atau menguji satu rancangan UU yang belum jadi. Adapun juga hak asasi
manusia antara Timur dan Barat berbeda di Timur HAM itu berdasarkan agama dan
adat istiadat ini kemudian ditanda tangani oleh pemerintah Indonesia bahwa
agama itu menjadi sumber hukum. Pada tahun 2015 akhir ada ribut-ribut tentang
LGBT Pak Yusuf Kalla mengatakan bahwa datang dana 100 juta dollar atau sekitar
1.3 triliun dari organisasi diluar negri untuk menggoalkan LGBT dan zina boleh
di Indonesia.
Opini terkait nilai-nilai
Pancasila :
Sistem
UU yang ada di Indonesia berdasarkan ke agamaan, dalam sila pertama “Ketuhanan
yang maha Esa” hal ini juga sudah dijelaskan bahwa tidak ada satu pun agama
yang memperbolehkan zina dan LGBT. Dan tidak diperbolehkan untuk mengintimidasi
seseorang atau jati diri seseorang. Masyarakat bebas berpendapat sesuai dengan
norma yang berlaku dan tetap melaksanakan seluruh kewajiban dalam negara.
Masyarakat juga harus menghargai dan menghormati setiap pilihan yang ditempuh
selagi tidak menyimpang dalam agama ataupun UU dan ikut serta mensejahterakan
rakyat tanpa diskriminasi seseorang.